Image by silviarita from Pixabay

Wabah Covid-19 yang mulai teridentifikasi pada tahun 2019 menyebabkan masyarakat dunia sedikit banyak mulai memperhatikan pentingnya menjaga kesehatan, antara lain dengan menjaga sanitasi lingkungan, memperhatikan higienisitas diri, maupun meningkat imunitas tubuh untuk menghadapi infeksi virus SARS-CoV-2 atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2.

Beberapa ahli gizi menyarankan agar masyarakat mengonsumsi Vitamin C dan Vitamin E untuk meningkatkan imunitas tubuh. Selain anjuran tersebut menjadi viral di sosial media dan berbagai situs berita online, kini banyak juga bermunculan artikel yang memuat daftar buah maupun sayur yang mengandung kedua vitamin tersebut dalam dosis tinggi. Namun, tidak sedikit pula orang yang bertanya-tanya, mengapa harus Vitamin C dan Vitamin E?

Vitamin C telah dipercaya selama lebih dari setengah abad akan kemampuannya dalam menghadapi infeksi virus, terutama virus yang menginfeksi saluran pernapasan. Seorang penerima penghargaan Nobel, yaitu Linus Carl Pauling (1971), menyimpulkan bahwa suplementasi Vitamin C dosis tinggi (di atas 100 mg per hari) terbukti mampu menurunkan resiko terjadinya infeksi virus yang menyebabkan demam, tetapi efek tersebut kurang signifikan pada dosis Vitamin C yang lebih rendah. Sebaliknya, asupan harian Vitamin C yang rendah terbukti dapat meningkatkan resiko infeksi virus.

Respon Vitamin C dalam menghambat infeksi virus masih belum terdefinisikan secara jelas. Namun, beberapa mekanisme yang mungkin terjadi antara lain adalah sebagai berikut:

  1. Vitamin C berperan dalam produksi sel darah putih, yaitu suatu jenis sel yang berperan penting dalam imunitas tubuh manusia, antara lain dengan cara memerangkap dan menghancurkan virus yang menginfeksi tubuh. Sel darah putih dapat mengeluarkan senyawa-senyawa oksidan seperti Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS) yang berbahaya bagi virus maupun bakteri. Efek samping dari aktivitas sel darah putih dalam memerangi virus adalah terjadinya inflamasi pada jaringan tubuh, misalnya timbul demam, bengkak, rasa sakit pada otot, dan sebagainya.
  2. Vitamin C meningkatkan respon sel yang terinfeksi oleh virus. Pada saat virus menginfeksi tubuh, sel-sel tubuh dengan segera menghasilkan sejenis protein bernama interferon yang akan memberi sinyal kepada sel darah putih untuk segera bertindak. Dalam hal ini, Vitamin C meningkatkan produksi interferon pada saat tubuh kita terinfeksi.
  3. Vitamin C mengikat senyawa oksidan (ROS dan RNS) yang dikeluarkan sel darah putih sehingga tidak menyerang sel tubuh dan menekan terjadinya inflamasi. Respon inflamasi, meskipun ditimbulkan oleh aktivitas sel darah putih dalam memerangi virus, dapat berakibat fatal pada tubuh kita dan bahkan bisa menyebabkan kematian.
  4. Konsumsi Vitamin C dapat meningkatkan kepercayaan diri seseorang dalam menghadapi infeksi virus dan memberikan efek plasebo. Telah banyak pembuktian bahwa efek placebo memang meningkatkan kondisi medis seseorang.

Berbeda dari Vitamin C, Vitamin E tidak begitu popular dianjurkan untuk mengatasi infeksi virus. Meskipun demikian, Vitamin E juga mampu meningkatkan imun tubuh terhadap infeksi virus terutama pada orang yang lanjut usia, karena kemampuan imun sel darah putih maupun kecepatan respon sel terhadap infeksi virus akan terus menurun seiring pertambahan usia. Vitamin E berperan dalam dalam mengembalikan kemampuan imun sel darah putih, mengembalikan respon sel terhadap infeksi, serta menurunkan stres oksidatif yang menyebabkan inflamasi dan kerusakan sel.

Beberapa hari yang lalu, seseorang bertanya kepada saya, apakah aman jika Vitamin C dikonsumsi bersamaan dengan Vitamin E. Saya menjawab, kombinasi kedua vitamin tersebut justru akan meningkatkan efek antioksidan pada tubuh kita. Vitamin C merupakan vitamin larut air yang sangat mudah dibuang bersama dengan urine pada saat kita kencing, sementara Vitamin E adalah vitamin larut lemak yang tersimpan dalam sel-sel lemak kita. Dengan demikian, Vitamin E akan tersimpan dalam tubuh kita dalam jangka waktu yang lebih lama. Pada saat Vitamin E sudah menjalankan fungsinya sebagai antioksidan, yaitu mencegah terjadinya oksidasi pada lemak di tubuh kita, molekul Vitamin E tersebut akan menjadi Radikal Vitamin E yang tidak memiliki fungsi antioksidan lagi. Namun, dengan adanya Vitamin C yang bisa mengembalikan aktivitas Radikal Vitamin E, usia Vitamin E sebagai antioksidan akan dapat diperpanjang. Sementara itu, Radikal Vitamin C yang sudah terpakai akan terbuang dengan mudah melalui urine. Mekanisme ini disebut sebagai Sinergi Antioksidan.

Jika kita kembali pada pertanyaan, “Mengapa harus Vitamin C dan Vitamin E?” Jawabannya adalah tidak harus hanya keduanya. Ada begitu banyak jenis antioksidan yang bisa kita konsumsi selain daripada Vitamin C dan Vitamin E, antara lain karotenoid, antosianin, ubiquionol, dan senyawa-senyawa polifenol yang banyak terdapat pada buah-buahan dan sayuran berwarna. Kita wajib ingat bahwa terdapat banyak jenis antioksidan yang memiliki fungsi berbeda-beda, yaitu sebagai pencegah oksidasi, sebagai penangkap radikal, dan untuk memperbaiki kerusakan sel. Semakin beragam antioksidan yang kita konsumsi akan memiliki efek perlindungan yang semakin beragam pula. Selain itu, sinergi antioksidan juga akan meningkatkan efektivitas antioksidan pada tubuh kita.

Di samping manfaat yang mungkin diperoleh dari mengonsumsi antioksidan, kita perlu memahami bahwa mengonsumsi antioksidan secara berlebihan juga dapat berdampak negatif pada tubuh. Dosis maksimum harian Vitamin C adalah 2000 mg untuk orang dewasa, sementara untuk Vitamin E adalah 1000 mg per hari untuk orang dewasa. Kelebihan dosis Vitamin C dapat menyebabkan terbentuknya batu ginjal, sementara kelebihan Vitamin E dapat menyebabkan lemas, mual, diare, hingga pendarahan pada otak. Oleh sebab itu, kita wajib untuk bijak dalam mengonsumsi suplemen Vitamin C dan Vitamin E.

 

Bibliografi

  • Han, S.N., Wu, D., Ha, W.K., Beharka, A., Smith, D.E., Bender, B.S., dan Meydani, S.N. (2008). Vitamin E supplementation increases T helper 1 cytokine production in old mice infected with influenza virus. Immunology100: 487-493.
  • Hemilä, J. dan Chalker, E. (2013). Vitamin C for Preventing and Treating the Common Cold. Cochrane Database of Systematic Reviews, Issue 1. Art. No.: CD000980.
  • Kim, Y., Kim, H., Bae, S., Choi, J., Lim, S.Y., Lee, N., Kong, J.M., Hwang, Y., Kang, J.S., dan Lee, W.J. (2013). Vitamin C Is an Essential Factor on the Anti-viral Immune Responses through the Production of Interferon-α/β at the Initial Stage of Influenza A Virus (H3N2) Infection. Immune Netw. 13(2): 70-74.
  • Li, W., Maeda, N., dan Beck, M.A. (2006). Vitamin C Deficiency Increases the Lung Pathology of Influenza Virus-Infected Gulo-/- Mice1. The Journal of Nutrition 136(10): 2611-2616.
  • Pauling, L. (1971). The Significance of the Evidence about Ascorbic Acid and the Common Cold. Proc. Nat. Acad. Sci. USA 68(11): 2678-2681.

 

Ditulis oleh:

Oki Krisbianto, S.TP., M.Sc.
Dosen Program Studi Teknologi Pangan
Universitas Ciputra Surabaya

About the author : Admin

Website ini dikelola oleh Program Studi Informatika Universitas CIputra. Semua artikel yang dimuat merupakan milik penulis, dan pengelola website tidak bertanggung jawab terhadap isi artikel. Silahkan memanfaatkan isi website ini dengan penuh kesadaran dan melalukan validasi maupun cek dan ricek sebelum memanfaatkannya.

Leave A Comment